Minggu, 06 Maret 2011

PENGERTIAN WAJIB DAN MACAM-MACAMNYA MENURUT USHUL FIQIH


BAB I                         PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
  2. Rumusan Masalah
  3. Tujuan Penelitian
  4. Kegunaan Penelitian
  5. Metodologi Penelitian
Jenis Penelitian
Metode Pengumpulan Data
BAB II            PEMBAHASAN TENTANG WAJIB DAN MACAM-MACAMNYA
  1. Pengertian Tentang Wajib
  2. Pembagian Wajib
Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya.
Wajib ditinjau dari segi ketentuan dari syari’
Wajib ditinjau dari segi tuntutan menunaikannya
Wajib ditinjau dari segi sifatnya
BAB III          PENUTUP
  1. Kesimpulan
  2. Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
  1. 1. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia terkenal dengan negara yang bermayoritas muslim. Ini dikarenakan penduduknya kebanyakan beragama Islam. Sebagai seorang muslim seharusnya dia mengamalkan apa yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi larangan-Nya. Di agama ini juga ada kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang muslim. Namun, apa yang kita saksikan sekarang ? Kebanyakan muslimin di negeri ini tidak menunaikan sholat fardlu secara sempurna, melalaikan zakat, tidak mau puasa Ramadlan. Padahal semua itu adalah suatu kewajiban yang harus mereka laksanakan. Salah satu sebabnya mereka enggan mengamalkannya karena mereka tidak tahu apa makna wajib yang sebenarnya.
Dari sini penulis tergerak untuk menjelaskan apa yang dimaksud wajib beserta macam-macamnya menurut ushul Fiqih.
  1. 2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa yang dimaksud dengan wajib itu dan berapa macamnya menurut Ushul Fiqih ?
  1. 3. Tujuan Penelitian
Sedangkan tujuan yang diinginkan penulis dalam penelian ini adlah untuk menjelaskan makna wajib dan macamnya.
  1. 4. Kegunaan Penelitian
Mejelaskan kepada muslimin tetnang makna wajib dan macamnya.
  1. 5. Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Dilihat dari segi tempatnya, penelitian ini termasuk penelitian perpustakaan (literatur). Karena penulis merujuk pada buku-buk. Sedangkan menurut tujuan umumnya, penelitian ini termasuk penelitian verifikatis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menguji kebenaran suatu pengetahuan.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelititan ini dilakukan dengan cara membaca, mencatat, meneliti kitab-kitab yang memuat pembahasan masalah tentang wajib serta macam-macamnya.
BAB III
PEMBAHASAN TENTANG WAJIB DAN MACAM-MACAMNYA
  1. 1. Pengertian Tentang Wajib
Wajib menurut bahasa adalah pasti atau tepat[1] sedangkan menurut istilah Ushul Fiqih adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’[2] supaya dikerjakan oleh mukalaf[3] secara pasti dan perintah itu disertai dengan petunjuk yang menunjukkan bahwa perintah itu menjadi wajib.[4] Petunjuk itu bisa berupa kalimat perintah itu sendiri atau kalimat yang terdapat petunjuk harus melakukannya.
Contoh petunjuk yang berupa kalmat perintah itu sendiri :
وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ … (البقرة (2) : 43)
Artinya : Dan tegakkanlan shalat serta tunaikanlah zakat ….
(QS. Al-Baqarah (2) : 43).
Contoh kalimat yang terdapat petunjuk harus melakukannya :
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ … (البقرة (2) : 183)
Artinya : Diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa … (QS. Al-Baqarah (2) : 183).
Hukum wajib disini harus dilakukan. Siapa yang melakukannya akan mendapat pahala, sedangkan siapa yang meninggalkannya akan mendapatkan siksaan.
  1. 2. Pembagian Wajib
Wajib ditinjau dari beberapa aspek terbagi menjadi empat :
Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya
Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya terbagi menjadi dua, yaitu wajib muthlaq (tidak terikat waktu) dan wajib muqayyad (terikat waktu).
  1. Wajib muthlaq (tidak terikat waktu) adalah sesuatu yang dieprintah oleh syari’ untuk melakukannya secara pasti dan tidak ditentukan waktu pelaksanannya.[5] Seperti orang yang melanggar sumpah, dia harus membayar denda. Pelaksanaan pembayaran denda ini tidak ditentukan waktunya. Ia dapat melaksanakannya langsung setelah melanggar sumpah atau dalam jeda beberapa waktu.
  2. Wajib muqayyad (terikat waktu) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ untuk melakukannya secara pasti dlam waktu tertentu.[6] Seperti shalat lima waktu. Masing-masing shalat diabtasi waktu tertentu sehingga tidak boleh bagi mukalaf untuk melaksanakan sebelumnya atau ia akan mendapat dosa jika melaksanakannya di luar waktu yang ditentukan tanpa uzur.
Wajib muqayyad (terikat waktu), jika waktu wajib yang ditetapkan olehsyari’ memuat satu kewajiban dan hal-hal lain yang sejenisnya, maka waktu itu disebut muwassa’ au dzorf (yang luas atau memuat).Contohnya adalah waktu dhuhur, di dalam waktu itu mukalaf bisa menunaikan shalat zuhur dan shalat-shalat selainnya seperti shalat sunnah sebelum shalat zuhur. Jika waktu yang ditetapkan oleh syari’ hanya untuk kewajiban itu saja tidak yang lain, maka waktu itu disebut mudlqyyaq au mi’yar (yang sempit atau dibatasi), misalnya waktu puasa Ramadan. Dalam bulan ini seorang mukalaf tidak bisa menjalankan puasa lain selain puasa Ramadan. Jika waktu yang ditetapkan oleh syari’ tidak untuk kewajiban selainnya dari satu segi sedangkan dari segi yang lain bisa memuat hal-hal selain kewajiban itu, maka waktu itu disebut dzasysyibhain (yang memiliki dua kesamaan). Contoh : waktu haji (bulan-bulan hari). Dari segi mukalaf, dia dapat menunaikan haji hanya satu kali dalam setahun. Dari segi bahwa ibadah haji tidak menghabiskan seluruh bulan-bulan hajji maka waktu itu menjadi luas dan memuat hal-hal lain yang sejenisnya.
Wajib ditinjau dari segi ketentuannya dari syari’.
Wajib ditinjau dari segi ketentuannya dari syari terbagi menjadi wajib muhaddad (ketentuan yang dibatasi) dan ghoiru muhaddad (ketentuan yang tidak dibatasi).
  1. wajib muhaddad (ketentuan yang dibatasi) adalah suatu kewajiban yang ketentuannya ditentukan oleh syari’ sehingga mukalaf tidak akan keluar dari tanggungan kewajiban itu kecuali apabila ia telah melakukannya sebagaimana syari’ telah menetapkannya[7]. Misalnya shalat lima waktu. Shalat fardlu ini harus dilakukan sesuai dengan jumlah, rukun dan syarat yang telah dibatasi oleh syari’.
  2. Wajib ghoiru muhaddad (ketentuan yang tidak dibatasi) adalah suatu kewajiban yang ketentuannya tidak dibatasi oleh syari’[8]. Misalnya infak di jalan Allah, saling tolong menolong pada kebaikan, dan memberi makan orang yang lapar. Tujuan kewajiban ini tidaklah lain untuk memenuhi kebutuhan. Sedangkan ketentuan yang dapat memenuhi kebutuhan itu tergantung yang dapat memenuhi kebutuhan itu tergantung pada jenis kebutuhan.
Wajib ditinjau dari segi tuntunan penunainnya.
Wajib ditinjau dari segi tuntunan penunainnya terbagi menjadi dua, yaitu wajib ‘aini (wajib ‘ain) dan wajib kifai (wajib kifayah).
  1. Wajib ‘ain (wajib ‘ain) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ supaya dilaksanakan oleh setiap mukalaf[9]. Misalnya: shalat, zakat, haji.
  2. Wajib kifa’i (wajib kifayah) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ untuk dilaksanakan tanpa melihat siapa yang melaksanakannya[10]. Jadi syari’ hanya menuntut dari kelompok mukalaf, jika seorang mukalaf telah melakukannya maka gugurlah dosa dari mukalaf yang lain, tapi apabila tidak ada seorang mukalafpun yang melakukannya maka semua mukalaf berdosa karena mengabaikan kewajiban itu. Misalnya menjawab salam, amar ma’ruf nahi munkar, menshalatkan orang yang meninggal, menolong orang lain.
wajib kifayah bisa menjadi wajib ‘ain apabila tidak ada yang bisa melakukannya kecuali mukalaf itu. Contoh : ada seorang yang tenggelam, sedang semua orang yang menyaksikan tidak ada yang pandai berenang kecuali satu orang, maka wajib kifayah itu menjadi wajib ‘ain baginya. Atau contoh lain, dalam satu negeri hanya terdapat satu dokter, maka menolong orang sakit yang seharusnya wajib kifayah menjadi wajib ‘ain sehingga dokter itu harus menolong orang yang sakit.
Wajib ditinjau dari segi sifatnya.
Wajib ditinjau dari segi sifatnya terbagi menjadi wajib mu’ayyan (tertentu) dan wajib mukhayyar (pilihan).
  1. Wajib mu’ayyan (tertentu) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ dengan sendirinya tanpa pilihan antara satu kewajiban dengan kewajiban lainnya. Maksudnya mukalaf harus melaksanakan kewajiban itu sendiri tanpa memilih yang lainnya. Seperti shalat, maka mukalaf harus melakukan kewajiban itu dengan sendirinya.
  2. Wajib mukhayyar (pilihan) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ secara samar yang mencakup semua perkara yang ditentukan[11]. Maksudnya, mukalaf diharuskan untuk memilih salah satu diantara kewajiban itu, sehingga hilanglah tanggungannya dengan melaksanakan salah satunya. Misalnya denda bagi orang yang melanggar sumpah. Allah swt mewajibkan kepada orang yang melanggar sumpah untuk memberi makanan kepada sepuluh orang miskin, atau memberi mereka pakaian, atau memerdekakan budak. Mukalaf bisa mimilih salah satu diantaranya.
BAB III
PENUTUP
  1. 1. Kesimpulan
1.1    Wajib menurut bahasa adalah pasti atau tepat, sedangkan menurut istilah ushul fiqih adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ supaya dikerjakan oleh mukalaf secara pasti dan perintah itu disertai dengan sesuatu yang menunjukkan kepastian untuk berbuat.
1.2    Wajib terbagi menjadi empat macam:
  1. Dari segi waktu pelaksanaannya:
    1. Wajib muthlaq (tidak terikat waktu)
    2. Wajib muqayyad (terikat waktu)
    3. Dari segi ketentuan dari syari’
      1. Wajib muhaddad (ketentuan yang dibatasi)
      2. Wajib ghairu muhaddad (ketentuan yang tidak dibatasi)
      3. Dari segi tuntunan penunaiannya
        1. Wajib ‘ain (wajib ‘ain)
        2. Wajib kifai’ (wajib kifayah)
        3. Dari segi sifatnya
          1. Wajib mu’ayyan (tertentu)
          2. Wajib mukhayyar (pilihan)
  1. 2. Saran
Apabila ada suatu kewajiban yang diperintahkan oleh syari’ muslimin diharuskan untuk melaksanakannya.
Karena dari beberapa aspek wajib terbagi menjadi empat, maka muslimin diharapkan untuk mengerjakan sesuai dengan pembagian itu.
DAFTAR PUSTAKA
  1. Mushaf, Al Qur’an
  2. Abdul Wahhab khallaf 2006 M, Ilmu Ushulil Fiqhi, Beirut, Darul Kutubil ‘Ilmiah.
  3. Ahmad Warson, 2002. Kamus Al Munawwir. Surabaya. Pustaka Progresif.
  4. Hasan Alwi, dkk. 2002. kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
  5. Utsaimin, Syekh Muhammad Shalih. 2004 M / 1415 H. Syarh Ushul min Ilmil Ushul. Kairo. Darul Aqidah.
  6. Prof. Dr. Taufik Abdullah, dkk. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
  7. Dr. Wahbah Az Zuhaili, 2008 M / 1429 H. Ushulul Fiqhil Islami. Damaskus. Darul Fikr.
[1] Prof. Dr. Taufiq Abdullah, dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hlm. 83, kol. 2.
[2] الشَارِعُ : هُوَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ         Artinya : Syari’ = dia itu adalah Allah dan Rasul-Nya
(Syeikh Utsaimin, Syarhul Ushul min ‘Ilmil Ushul, hlm. 37).
[3] Mukalaf : orang dewasa yang wajib menjalankan hokum agama.
(Hasan Alwi, dll, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 760, kol. 1).
[4] Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Fiqhil Islami, juz. 1, hlm. 53.
[5] Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Ushulal Fiqhil Islami, juz. 1, hlm. 56.
[6] Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Ushulal Fiqhil Islami, juz. 1, hlm. 56.
[7] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqhi, hlm.84
[8] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqhi, hlm.85
[9] Dr. Wahbah Az Zuhaili, Ushulul Fiqhil Islami, juz1, hlm.67
[10] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmul Ushul Fiqhi, hlm.84
[11] Dr. Wahbah Az Zuhaili, Ushulul Fiqhil Islami, juz. 1, hlm. 72

cam-ma� 'y - PI� �� shul-fiqih/#_ftnref8">[8] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqhi, hlm.85
[9] Dr. Wahbah Az Zuhaili, Ushulul Fiqhil Islami, juz1, hlm.67
[10] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmul Ushul Fiqhi, hlm.84
[11] Dr. Wahbah Az Zuhaili, Ushulul Fiqhil Islami, juz. 1, hlm. 72


Tidak ada komentar:

Posting Komentar