Selasa, 08 Maret 2011

DEMOKRASI DALAM KACAMATA ISLAM



Ditulis oleh:
1. Syaikh Al-Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani
2. Syaikh Al-Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i
Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kita memujiNya, memohon pertolongan dan berlindung kepadaNya dari keburukan diri kita dan kejelekan amalan kita, siapa yang diberi petunjuk oleh Allah niscaya dia akan tertunjuki, sedang siapa yang disesatkan Allah tiada yang mampu memberi petunjuk kepadanya.
Saya bersaksi tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Amma ba'du
Sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari para ulama supaya mereka menjelaskan kepada manusia tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka (syari'at ini), Allah berfirman. Artinya : Dan(ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu) : "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya" [Ali-Imron : 187]
Allah melaknat orang yang menyembunyikan ilmunya.
Artinya : ”Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.” [Al-Baqarah : 159-160]
Dan Allah mengancam mereka dengan neraka.
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. [Al-baqarah : 174]
Sebagai pengamalan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم.
Artinya : Agama itu adalah nasehat, kami bertanya : Bagi siapa wahai Rasulullah ?Jawab beliau : Bagi Allah, KitabNya, RasulNya, para pemimpin kaum muslimin dan mayarakat umum. [Hadit Riwayat Muslim]
Dan mencermati beragam musibah yang menimpa umat Islam dan pemikiran-pemikiran yang disusupkan oleh komplotan musuh terutama pemikiran import yang merusak aqidah dan syariat umat, maka wajib bagi setiap orang yang dikarunia ilmu agama oleh Allah agar memberi penjelasan hukum Allah dalam beberapa masalah berikut.
DEMOKRASI
Menurut pencetus dan pengusungnya, demokrasi adalah pemerintahan rakyat (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, -pent). Rakyat pemegang kekuasaan mutlak.
Pemikiran ini bertentangan dengan syari'at Islam dan aqidah Islam. Allah berfirman.
Artinya : Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. [Al-An'am : 57]
Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir. [Al-Maidah : 44]
Artinya : Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah ? [As-Syura : 21]
Artinya : Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan. [An-Nisa : 65]
Artinya : Dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutuNya dalam menetapkan keputusan.[Al-Kahfi : 26]
Sebab demokrasi merupakan undang-undang thagut, padahal kita diperintahkan agar mengingkarinya, firmanNya.
Artinya : (Oleh karena itu) barangsiapa yang mengingkari thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul (tali) yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. [Al-Baqarah : 256]
Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) : Sembahlah Allah (saja) dan jauhi thagut itu. [An-Nahl : 36]
Artinya : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al-Kitab ? Mereka percaya kepada jibt dan thagut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. [An-Nisa: 51]

DEMOKRASI BERLAWANAN DENGAN ISLAM, TIDAK AKAN MENYATU SELAMANYA.
Oleh karena itu hanya ada dua pilihan, beriman kepada Allah dan berhukum dengan hukumNya atau beriman kepada thagut dan berhukum dengan hukumnya. Setiap yang menyelisihi syari'at Allah pasti berasal dari thagut.
Adapun orang-orang yang berupaya menggolongkan demokrasi ke dalam sistem syura, pendapatnya tidak bisa diterima, sebab sistem syura itu teruntuk sesuatu hal yang belum ada nash (dalilnya) dan merupakan hak Ahli Halli wal Aqdi [1] yang anggotanya para ulama yang wara' (bersih dari segala pamrih). Demokrasi sangat berbeda dengan system syura seperti telah dijelaskan di muka.
BERSERIKAT
Merupakan bagian dari demokrasi, serikat ini ada dua macam :
[a] Serikat dalam politik (partai) dan,
[b] Serikat dalam pemikiran.
Maksud serikat pemikiran adalah manusia berada dalam naungan sistem demokrasi, mereka memiliki kebebasan untuk memeluk keyakinan apa saja sekehendaknya. Mereka bebas untuk keluar dari Islam (murtad), beralih agama menjadi yahudi, nasrani, atheis (anti tuhan), sosialis, atau sekuler. Sejatinya ini adalah kemurtadan yang nyata.
Allah berfirman.
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang yahudi) ; Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan, sedang Allah mengetahui rahasia mereka. [Muhammad : 25]
Artinya : Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. [Al-Baqarah : 217]
Adapun serikat politik (partai politik) maka membuka peluang bagi semua golongan untuk menguasai kaum muslimin dengan cara pemilu tanpa mempedulikan pemikiran dan keyakinan mereka, berarti penyamaan antara muslim dan non muslim.
Hal ini jelas-jelas menyelisihi dali-dalil qath'i (absolut) yang melarang kaum muslimin menyerahkan kepemimpinan kepada selain mereka.
Allah berfirman.
Artinya : Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman. [An-Nisa : 141]
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. [An-Nisa : 59]
Artinya : Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Atau adakah kamu (berbuat demikian) ; bagaimanakah kamu mengambil keputusan ? [Al-Qolam : 35-36]
Karena serikat (bergolong-golongan) itu menyebabkan perpecahan dan perselisihan, lantaran itu mereka pasti mendapat adzab Allah. Allah memfirmankan.
Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. [Ali-Imran : 105]
Mereka juga pasti mendapatkan bara' dari Allah (Allah berlepas diri dari mereka). FirmanNya.
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamaNya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. [Al-An'am : 159]
Siapapun yang beranggapan bahwa berserikat ini hanya dalam program saja bukan dalam sistem atau disamakan dengan perbedaan madzhab fikih diantara ulama maka realita yang terpampang di hadapan kita membantahnya. Sebab program setiap partai muncul dari pemikiran dan aqidah mereka. Program sosialisme berangkat dari pemikiran dasar sosialisme, sekularisme berangkat dari dasar-dasar demokrasi, begitu seterusnya. 
[Dialih bahasakan dari Majalah Al-Ashalah, edisi 2 Jumadil Akhir 1413H, oleh Abu Nuaim Al-Atsari, Disalin ulang dari Majalah Al-Furqon, edisi 7/Th III. Hal.39-43] 

PERSEKUTUAN DAN KOALISI DENGAN KELOMPOK SEKULER
Tahaluf (persekutuan) adalah kesepakatan antara dua kelompok yang bersekutu pada satu urusan, keduanya saling menolong.
Tansiq (koalisi) adalah suatu tandhim (sistem) yaitu semua partai berada dalam satu sistem yang menyeluruh dan menyatu. Tandhim lebih tertata ketimbang persekutuan.
Bila koalisi ini bertujuan menyokong demokrasi berserikat, pemikiran dan usaha meraih kekuasaan yang dicanangkan oleh partai-partai Islam di beberapa negara Islam bekerjasama dengan partai sekuler maka pungkasannya adalah seperti persekutuan antara orang-orang Yaman dengan partai Bats sosialis untuk melancarkan perbaikan. Persekutuan dan koalisi model begini diharamkan, sebab termasuk tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. Allah menfirmankan.
Artinya : Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. [Al-Maidah : 2]
Artinya : Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zhalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain dari pada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.[Hud : 113]
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang diluar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. [Ali-Imron : 118]
Selain mengandung implikasi terwujudnya kecintaan antara golongan tersebut (antara muslim dan non muslim,-pent), hal ini juga menggerus pondasi wala' dan bara' (loyalitas dan sikap berlepas diri). Padahal keduanya merupakan tali iman yang terkokoh. Allah berfirman.
Artinya : Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. [Al-Maidah : 51]
Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda.
Artinya : Seseorang itu dikelompokkan bersama orang yang dia cintai. [Muttafaqun Alaihi]
Orang-orang yang melegalkan persekutuan dan koalisi berdalil dengan beberapa dalil, namun dalil-dalil tersebut tidak menunjukkan apa yang mereka kehendaki, diantaranya ;
[A] Persekutuan Nabi صلی الله عليه وسلم Dengan Orang Yahudi
Jawabannya sebagai berikut :
[1] Haditsnya tidak shahih, karena mu'dhal (gugurnya dua orang rawi secara berurutan dalam silsilah sanadnya, -pent)
[2] Pasal-pasal dalam persekutuan yang dijadikan pijakan -jika ini benar- maka menyelisihi isi dari persekutuan tadi.
[3] Hukum bagi yahudi dan bagi orang-orang yang enggan menerapkan syari'at Allah adalah berbeda.
[4] Mereka tidak dalam keadaan terpaksa (dharurat) sebab keadaan dharurat yang sesuai dengan syar'iat tidak terwujud, lantaran syarat darurat tidak ada.
[5] Kalaulah hadits tentang persekutuan Nabi dengan yahudi itu shahih, tetapi hukumnya mansukh (terhapus) dengan hukum-hukum jizyah (upeti yang diserahkan oleh orang-orang non muslim yang berada dalam kawasan negara Islam sebagai imbalan jaminan keamanan dan menetapnya mereka, -pent)
[6] Rasulullah صلی الله عليه وسلم menjalankan pemerintah Islam, sedangkan jama'ah dan partai yang terjun di medan dakwah tidak boleh memposisikan diri mereka sebagai pemerintah Islam.
[7] Orang-orang yahudi tersebut berada dalam naungan negara Islam, oleh karena itu tidak akan terwujud persekutuan antara golongan yang sederajat.
[B] Persekutuan Nabi صلی الله عليه وسلم Dengan Bani Khuza'ah
Jawabannya sebagai berikut :
[1] Yang benar, Bani Khuza'ah adalah muslimin, buktinya, tersebut dalam sejarah mereka mengatakan : Kami telah memeluk Islam dan kami tidak mencabut ketaatan, namun mereka membunuh kami sedang kami dalam keadaan ruku dan sujud.
[2] Andaikan saja mereka itu masih musyrik, tetapi hukum kafir asli berbeda dengan hukum bagi orang-orang yang menolak hukum Islam.
[3] Isi persekutuan yang ada sekarang ini bebeda dengan isi persekutuan dengan bani Khuza'ah ; pasal-pasal kesepakatan partai itu telah diisyaratkan di muka sedangkan pasal-pasal kesepakatan dengan Khuza'ah tidak mengandung penyelewengan dari kebenaran dan tidak ada kerelaan kepada kebatilan.
[C] Perlindungan Yang Diberikan Muth'im bin Adi dan Abu Thalib Kepada Rasulullah صلی الله عليه وسلم.
Jawabannya :
Ini strategi beliau mensiasati keadaan dan beliau masih bebas untuk berdakwah.
KONTRAKDIKSI YANG MENIMPA MEREKA
Suatu kali mereka menyebut Partai Sekuler, kali lain mengatakan Perbedaan golongan ini hanya dalam program bukan perbedaan manhaj, kali lainnya lagi mengucapkan Partai itu sekarang telah murtad, namun mereka telah bertobat, lantaran itu mereka menerima ke-Islaman dan pertobatan mereka. Lantas mengapa mereka berdalih bahwa Nabi صلی الله عليه وسلمbersekutu dengan yahudi dan orang-orang musyrik, jika mereka telah memvonis bahwa partai tertentu kafir, lalu mengapa mereka masih mengadakan persekutuan ? Ini kontradiksi yang nyata. Andai taubat mereka jujur, maka menurut syari'at harus memenuhi hal-hal berikut :
[1] Harus mengumumkan pelepasan diri mereka dari keyakinan mereka yang terdahulu dan atribut-atribut ketenaran mereka, dan mengakui kesalahan manhaj mereka yang dahulu.
[2] Menghilangkan anasir yang menentang Islam dari diri mereka secara lahir batin.
Dalih Yang Menjadi Pegangan Mereka Yaitu Perjanjian Hudaibiyyah.
Jawabnya :
[1] Pemerintah Islam berhak mengikat perjanjian dengan musuh mereka jika dipandang maslahatnya lebih banyak ketimbang mafsadahnya.
[2] Pada perjanjian Hudaibiyyah tidak terdapat sikap mengalah, tidak seperti sikap partai-partai itu. Rasulullah صلی الله عليه وسلم mengganti tulisan Ar-Rahman Ar-Rahiim dengan Bismika Allah. Adapun beliau tidak menuliskan kalimat Rasulullahصلی الله عليه وسلم, bukan merupakan bukti bahwa beliau menghapus risalah dari dirinya, tetapi justru mengucapkan : Demi Allah, aku benar-benar utusan Allah.
[3] Terjadinya perjanjian Hudaibiyyah itu menghasilkan maslahat (kebaikan) nyata yaitu pengagungan kemuliaan Allah, bandingkan dengan dampak yang muncul akibat persekutuan dan koalisi tersebut.
[4] Hukum bagi kafir asli dan bagi orang yang enggan menerapkan hukum Islam berbeda.

PEMILIHAN UMUM
Termasuk sistem demokrasi pula, oleh karena itu diharamkan, sebab orang yang dipilih dan yang memilih untuk memegang kepemimpinan umum atau khusus tidak disyaratkan memenuhi syarat-syarat yang sesuai syariat. Metode ini memberi peluang kepada orang yang tidak berhak memegang kepemimpinan untuk memegangnya. Karena tujuan dari orang yang dipilih tersebut adalah duduk di dewan pembuat undang-undang (Legislatif) yang mana dewan ini tidak memakai hukum Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah صلی الله عليه وسلم, namun yang jadi hukum adalah Suara Mayoritas. Ini adalah dewan thagut, tidak boleh diakui, apalagi berupaya untuk menggagas dan bekerjasama untuk membentuknya. Sebab dewan ini memerangi hukum Allah dan merupakan sistem barat, produk yahudi dan nashara, oleh karena itu tidak boleh meniru mereka.
Bila ada yang membantah : Sebab di dalam syari'at Islam tidak terdapat metode tertentu untuk memilih pemimpin, lantaran itu pemilu tidak dilarang.
Jawabannya : Pendapat tersebut tidak benar, sebab para sahabat telah menerapkan metode tersebut dalam memilih pemimpin dan ini merupakan metode syar'i. Adapun metode yang ditempuh partai-partai politik, tidak memiliki patokan-patokan pasti, ini sudah cukup sebagai larangan bagi metode itu, akibatnya orang non muslim berpeluang memimpin kaum muslimin, tidak ada seorangpun dari kalangan ahli fikih yang membolehkan hal itu.

AKTIVITAS POLITIK
Partai-partai politik memiliki kesepakatan-kesepakatan antara mereka untuk tidak saling mengkafirkan dan bersepakat untuk mengukuhkan dasar-dasar demokrasi. Sedangkan hukum Islam dalam masalah ini adalah mengkafirkan orang-orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan RasulNya, memberi cap fasiq kepada orang yang di cap fasiq oleh Allah dan RasulNya dan memberi cap sesat kepada orang yang diberi cap sesat oleh Allah dan RasulNya. Islam tidak mengenal pengampunan (grasi/amnesti dari pemerintah, -pent). Mengkafirkan seorang muslim yang tercebur dalam maksiat bukan termasuk manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama'ah selama dia tidak menghalalkan kemaksiatan tersebut. Adapun undang-undang produk manusia diantaranya undang-undang Yaman, telah dijelaskan oleh ulama Yaman bahwa di dalamnya terkandung penyelisihan terhadap syari'at.

METODE DAKWAH KITA YANG WAJIB DIKETAHUI OLEH MASYARAKAT
[1] Kita mendakwahi manusia untuk berpegang dengan Al-Qur'an dan Sunnah secara hikmah, nasehat yang baik selaras dengan pemahaman para Salaf.
[2] Kita memandang bahwa kewajiban syar'i terpenting adalah menghadapi pemikiran import dan bid'ah-bid'ah yang disusupkan ke dalam Islam dengan cara menyebarkan ilmu yang bermanfaat, dakwah, menggugah kesadaran umat, meluruskan keyakinan-keyakinan dan pemahaman yang keliru dan menyatukan kaum muslimin dalam lingkup semua tadi.
[3] Kami memandang bahwa umat Islam tidak membutuhkan revolusi, penculikan dan penyebaran fitnah. Namun yang dibutuhkan adalah pendidikan iman dan pemurnian. Ini merupakan saran paling vital untuk mengembalikan kejayaan dan kemuliaan umat.
[4] Sebagai penutup kami akan memperingatkan bahwa motif yang melatari munculnya uraian ini adalah kami melihat sebagian ulama dan khususnya ulama negara Yaman membicarakan permasalahan yang dipakai pijakan oleh partai-partai politik Islam. Mereka bermaksud meletakkan landasan syar'i bagi permasalahan tersebut, padahal masalah tersebut mengandung kontradiksi dan kesalahan-kesalahan ditinjau dari sisi syar'i. Perlu diketahui bahwa mereka tidak mewakili kaum muslimin namun hanya mewakili diri mereka sendiri dan partai mereka saja. Yang jadi mizan adalah dalil bukan jumlah mayoritas dan bukan desas-desus.
Semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada pemimpin kita Muhammad, keluarganya dan seluruh sahabat beliau. Segala puji bagi Allah.
Penandatangan fatwa ini adalah :
[1] Syaikh Muhamad Nashiruddin Al-Albani
[2] Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i
[3] Syaikh Abdul Majid Ar-Rimi.
[4] Syaikh Abu Nashr Abdullah bin Muhammad Al-Imam
[5] Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Washshabi, dll.
[Dialih bahasakan dari Majalah Al-Ashalah, edisi 2 Jumadil Akhir 1413H, oleh Abu Nuaim Al-Atsari, Disalin ulang dari Majalah Al-Furqon, edisi 7/Th III. Hal.39-43]

Minggu, 06 Maret 2011

Mengenal dan Memahami Kontradiksi Dalil Dalam Al-Quran dan As-sunnah


I. PENDAHULUAN
Dewasa ini kita sering melihat perbedaan yang terjadi di antara umat Islam. Perbedaan itu semua berdasarkan dalil baik al-Quran, hadits maupun dalil yang lain. Sebagai seorang pelajar perbedaan semacam itu merupakan suatu hal yang biasa. Karena kalau kita melihat rujukan-rujukan hukum yang diambil oleh para pakar hukum Islam, di situ kita melihat beberapa dalil yang secara tekstual saling bertentangan satu dengan yang lain.

Oleh karena itu, apabila kita mendengar tuduhan maupun anggapan orang bahwa dalam Islam terdapat inkonsistensi status sebuah perkara, yang nantinya akan menimbulkan negative thinking bahwa Tuhan maupun Nabi umat Islam tidak konsisten, maka kita sebagai kaum terpelajar tidak usah menanggapi dengan emosi, akan tetapi kita harus menyikapinya dengan wajar dan kepala dingin. Karena aggapan semacam itu dimungkinkan keluar dari mulut-mulut orang yang memang tidak paham bahkan tidak mengetahui seluk beluk hukum Islam. Oleh karena itu, untuk menghindari anggapan-anggapan miring seperti di atas para pakar hukum Islam terdahulu mengkaji dan meneliti dalil-dalil yang secara tekstual saling bertentangan, kemudian membuat langkah-langkah penyelesaian. Hasil dari pada kajian para pakar hukum di atas sekarang bisa kita peroleh dan kita pelajari dalam literatur hukum Islam yang termuat dalam bab khusus, yaitu sub kontradiksi beberapa dalil. 
Dalam pembahasan kali ini, berhubungan erat dengan apa yang terpapar di atas. Dan nantinya akan sedikit kita ketahui apa itu ta’arud, dan bagaimana cara menyelesaiakan ta’arud menurut beberapa pakar hukum Islam. Bagi para pelajar yang berminat untuk mengetahui Islamic laws (meskipun tidak mampu mencapai tingkatan mujtahid) fardlu ain bagi mereka untuk mempelajari sub ini. Karena banyak dalam teks-teks hukum menurut pandangan mujtahid terjadi pertentangan. Semisal satu dalil menunjukkan ketetapan sesuatu (isbat) sedangkan dalil yang lain menunjukkan pencabutan status (nafyu). Mungkin timbul pertanyaan mengapa kita susah-susah mempelajari satu bidang tertentu yang sudah ditetapkan hasilnya dan tidak mungkin lagi bisa dirubah konsepnya? Pertanyaan itu bisa dijawab dengan mudah, kajian semacam itu berguna untuk menentukan status suatu kasus yang akan terjadi di masa-masa yang akan datang. 
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian
Secara etimologis ta’arudl ialah pertentangan antara dua hal . Sedangkan secara terminologis ada beberapa definisi yang dikemukakan ulama ushul fiqh tentang ta’arudl al-Adillah. Muhammad Ibn Ali asy-Syaukani mendefinisikannya dengan: “Suatu dalil menentukan hukum tertentu terhadap satu kasus, sedangkan dalil yang lain menentukan hukum yang berbeda”. Ini juga merupakan definisi yang dikemukakan oleh mayoritas pakar ushul . Ali Hasaballah, ahli fiqh kontemporer dari Mesir, mendefinisikannya dengan: “Terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung oleh dalil lainnya dan kedua dalil tersebut dalam satu derajat” . Pengertian “satu derajat” adalah dua dalil yang bertentangan itu sama-sama al-Quran, atau sama-sama hadits ahad .
Contoh dua ayat yang bertentangan adalah tentang masa ‘iddah wanita sebab suaminya meninggal. Misalnya, firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 234 menyatakan bahwa ‘iddah wanita sebab suaminya meninggal adalah 4 bulan 10 hari. Ayat ini tidak membedakan apakah wanita itu hamil atau tidak. Sedangkan dalam surat al-Talaq ayat 4 , Allah menyatakan bahwa ‘iddah wanita yang hamil adalah sampai ia melahirkan anaknya. Dengan demikian, terdapat pertentangan kandungan antara kedua ayat tersebut bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, yakni apakah ‘iddahnya berakhir hingga ia melahirkan anaknya atau 4 bulan 10 hari.
Contoh hadits yang bertentangan adalah dalam masalah riba. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda yang artinya: “Tidak ada riba kecuali riba nasiah (riba yang muncul dari utang piutang)”. (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini meniadakan segala bentuk riba kecuali riba nasiah. Dengan demikian, riba al-Fadl (riba yang muncul akibat suatu transaksi, baik jual beli atau transaksi lainnya) tidaklah haram. Namun dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda yang artinya: “Janganlah kamu menjual gandum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang sama……”. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad Ibn Hambal). Hadits ini mengandung hukum bahwa riba al-Fadl diharamkan. Dengan demikian, dalam masalah riba al-Fadl ini ada pertentangan hukum yang dikandung oleh kedua dalil tersebut. Hadits pertama membolehkan dan hadits yang kedua mengharamkan.
Menurut Wahbah az-Zuhaili (seorang pakar fiqh dan ushulnya di Universitas Damaskus, Syiria), pertentangan antara kedua dalil itu hanya dalam pandangan mujtahid, sesuai dengan kemampuan pemahaman, analisis, dan kekuatan logikanya, bukan pertentangan hakiki, karena tudak mungkin Allah atau Rasul-Nya menurunkan aturan-aturan yang saling bertentangan.
Menurut Imam asy-Syatibi (seorang ahli fiqh Madzhab Maliki), pertentangan itu bersifat semu. Ia menambahkan bahwa pertentangan itu bisa terjadi dalam dalil yang qath’i (pasti benar) dan bisa juga dalam dalil yang dhanni (relatif benar), selama kedua dalil itu dalam satu derajat. Apabila pertentangan itu terjadi pada dalil yang berbeda derajat, seperti pertentangan antara dalil yang qath’i dan dalil yang dhanni, maka dalil yang diunggulkan adalah dalil yang qath’i. Apabila yang bertentangan itu ayat al-Quran dengan hadits ahad, maka dalil yang diunggulkan adalah ayat al-Quran, karena dari segi periwayatannya, ayat al-Quran bersifat qath’i, sedangkan hadits ahad bersifat dhanni. 
Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa pertentangan itu tidak mungkin muncul dari dalil yang bersifat fi’liyyah (perbuatan). Misalnya, dalil yang menunjukkan Rasulullah berpuasa pada hari tertentu, kemudian ada lagi dalil lain yang menyatakan bahwa pada hari itu beliau juga berbuka (tidak berpuasa) .

B. Cara menyelesaikan pertentangan dalil
Apabila menurut analisis seorang mujtahid ada dua dalil yang saling bertentangan, maka dapat digunakan metode tertentu untuk menyelesaikannya. Ulama Madzhab Hanafi mengemukakan empat metode penyelesaian:
1) An-Nasakh, yaitu membatalkan hukum berdasarkan pada dalil yang turun kemudian. Dalil yang turun kemudian ini mengandung hukum yang berbeda dengan hukum yang dikandung oleh dalil yang pertama. Dalam hal ini seorang mujtahid harus berusaha mencari kronologi munculnya kedua dalil tersebut. Apabila dalam pelacakannya, ia ternyata menemukan bahwa salah satu dari dua dalil itu muncul lebih dahulu, maka ia harus mengunggulkan dalil yang datang kemudian (terakhir). Dalam kasus pertentangan ayat yang berbicara tentang ‘iddah wanita hamil di atas, misalnya, menurut jumhur (mayoritas) ulama, Sahabat Abdullah Ibn Mas’ud meriwayatkan bahwa ayat yang menyebutkan ‘iddah wanita hamil adalah hingga ia melahirkan (surat al-Talaq, ayat 4) turun sesudah ayat yang menyatakan bahwa ‘iddah wanita sebab suaminya meninggal adalah 4 bulan 10 hari (surat al-Baqarah, ayat 234). Dengan demikian, surat al-Talaq ayat 4 ini menasakh (membatalkan) hukum yang dikandung oleh surat al-Baqarah ayat 234 yaitu ‘iddah wanita hamil adalah 4 bulan 10 hari .
2) Tarjih, yaitu menguatkan salah satu dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukungnya. Ini dapat dilakukan jika masa turunnya kedua dalil tersebut tidak diketahui. Namun dalam melakukan tarjih, seorang mujtahid harus mengemukakan argument yang membuat satu dalil lebih kuat dibandingkan dengan dalil lainnya. Tarjih dapat dilakukan dari sisi tunjukan kandungan lafadz suatu nash (teks), seperti menguatkan nash yang muhkam (hukumnya pasti dan tidak dapat dinasakh) dari mufassar (hukumnya pasti tetapi masih bisa dinasakh), dan dapat pula dilakukan dari segi hukum yang dikandungnya, seperti menguatkan dalil yang mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum halal. Apabila dua dalil yang saling bertentangan itu adalah hadits, maka tarjih dapat dilakukan melalui penilaian aspek keadilan orang yang meriwayatkan hadits. Contoh: pertentangan antara hadits yang mengharamkan minum air kencing dengan hadits yang menghalalkannya . Dalam hal ini, ulama Hanafiyah mengunggulkan hadits yang mengharamkan minum air kencing, meskipun hadits ini bisa diinterpretasikan kepada minum air kencing hewan yang tidak boleh dimakan, atau minum dengan tanpa tujuan berobat. Mereka menyatakan hal ini dengan argument bahwa menolak (tidak melakukan) bahaya (minum air kencing) lebih utama dari menarik kemanfaatan (tujuan mengobati) . 
3) Al-Jam’u wa al-Taufiq, yaitu menggabungkan dalil yang bertentangan dan kemudian mengkompromikannya. Metode ini dilakukan jika penyelesaian dengan cara tarjih tidak berhasil. Metode ini didasarkan atas kaidah fiqh “mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”. Misalnya, Rasulullah bersabda yang artinya: “Bukankah saya telah memberitahu kamu sebaik-baik kesaksian? Yaitu kesaksian yang diberikan oleh seseorang sebelum ia diminta menjadi saksi” . (HR. Muslim). Maksudnya, kesaksian yang baik itu adalah kesaksian seseorang yang diberikan tanpa diminta, baik itu kesaksian dalam hak-hak Allah maupun dalam kasus yang menyangkut hak manusia. Dalam hadits lain Rasulullah bersabda yang artinya: “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya pula, lalu setelah itu orang-orang yang memberikan kesaksiannya tanpa diminta, padahal mereka tidak menyaksikan peristiwa itu, dan mereka berkhianat serta tidak dapat dipercaya” . (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini mengandung pengertian bahwa pada suatu generasi nanti akan muncul orang-orang yang berusaha menjadi saksi, padahal mereka tidak menyaksikan peristiwa yang disidangkan itu sendiri. Dalam pertentangan ini, maka hadits yang pertama bisa diartikan dengan kasus-kasus yang terkait dengan hak Allah dan kesaksian dalam hadits yang kedua menyangkut hak-hak manusia . Contoh lain adalah dalam masalah darah yang haram dikonsumsi. Dalam surat al-Maidah ayat 3 Allah berfirman yang artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,…….”. Dalam ayat ini, tidak ada perbedaan antara darah yang mengalir dalam tubuh dan darah yang sudah beku seperti hati. Di dalam ayat lain Allah berfirman yang artinya: “….kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir…” . (QS. Al-An’am: 145). Ayat ini mengandung hukum bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir termasuk darah yang dibekukan di luar tubuh. Dengan demikian, darah yang diharamkan secara mutlak dalam surat al-Maidah ayat 3 dibatasi (ditakhsis) dengan darah yang mengalir yang terkandung dalam surat al-An’am ayat 145 . Dengan demikian, pengkompromian antara dalil-dalil yang secara lahiriyah bertentangan dapat diselesaikan.
4) Tasaqu al-Dalilain, yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan. Apabila ketiga cara di atas tidak bisa dilakukan oleh seorang mujtahid, maka ia boleh menggugurkan kedua dalil tersebut. Apabila dalil yang bertentangan dan tidak bisa dinasakh, atau ditarjih atau dikompromikan itu berupa dua ayat al-Quran, maka mujtahid boleh mencari dalil lain yang kualitasnya di bawah ayat al-Quran, yaitu sunnah. Apabila kedua hadits yang berbicara tentang masalah yang diselesaikannya itu juga bertentangan dan cara-cara di atas juga tidak bisa ditempuh, maka ia boleh mengambil pendapat sahabat (قول الصحابى) –bagi yang menjadikannya dalil syara’- atau menetapkan hukumnya melalui qiyas (analogi) bagi yang tidak menerima kehujahan pendapat sahabat . Contoh: pertentangan antara hadits yang menerangkan bahwa shalat kusuf (shalat gerhana matahari) dilakukan dengan satu rakaat dan dua sujud dengan hadits yang menyatakan bahwa shalat kusuf ini dilakukan dua rakaat dengan empat ruku’ dan empat sujud. Dalam menyikapi pertentangan ini, ulama Hanafiyah tidak menggunakan kedua hadits tersebut kerena menurut mereka kedua hadits ini tidak ada yang mengunggulkan salah satunya. Oleh karena itu, mereka beralih ke dalil yang derajatnya lebih rendah, yaitu qiyas (analogi). Mereka menganologikan shalat kusuf ini dengan shalat-shalat yang lain dalam hal jumlah rakaat . 
Menurut ulama Madzhab Hanafi, seorang mujtahid hanya dibolehkan memilih dalil yang kualitasnya rendah apabila ia telah melakukan upaya maksimal dalam melacak dalil yang kualitasnya lebih tinggi. Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan di atas harus dilakukan secara berurutan dari cara pertama sampai cara keempat.
Adapun cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan menurut ulama Madzhab Syafi’i, Maliki, Hambali, dan al-Dhahiri adalah sebagai berikut:
1. Al-Jam’u wa al-Taufiq. Keempat madzhab tersebut menyatakan bahwa metode pertama yang harus ditempuh adalah mengumpulkan dan mengkompromikan kedua dalil yang bertentangan, sekalipun hanya dari satu sisi saja. Alasan mereka adalah kaidah fiqh seperti yang dikemukakan Madzhab Hanafi di atas, yaitu “mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan salah satu di antaranya”. Mengamalkan kedua dalil, sekalipun hanya dari satu sisi saja, menurut mereka ada tiga cara: (a). Apabila kedua hukum yang saling bertentangan itu bisa dibagi, maka dilakukan pembagian sebaik-baiknya. Apabila dua orang saling mengklaim bahwa sebuah rumah adalah miliknya, maka kedua klaim itu jelas bertentangan, karena kepemilikan terhadap sesuatu sifatnya menyeluruh. Namun karena barang yang dipersengketakan adalah barang yang bisa dibagi, maka cara penyelesaiannya adalah dengan membagi rumah tersebut. (b). Apabila hukum yang bertentangan itu sesuatu yang mengandung banyak arti, maka mujtahid boleh mengambil salah satu pengertian asalkan didukung oleh dalil lain. Contohnya, Rasulullah bersabda yang artinya: “Tidak (dinamakan) shalat bagi orang yang rumahnya dekat masjid kecuali di masjid” . (HR. Abu Dawud dan Ahmad Ibn Hambal). Akan tetapi hadits ini bertentangan ketetapan dan pengakuan Nabi bahwa hukum shalat di selain masjid bagi orang yang rumahnya dekat masjid itu boleh. Dalam menyikapi pertentangan ini, seorang mujtahid harus memahami bahwa kata “la” secara ushul fiqh mempunyai pengertian yang banyak, yaitu bisa berarti “tidak sah”, “tidak sempurna”, atau “tidak utama”. Oleh sebab itu, ia boleh memilih pengertian mana saja asalkan didukung oleh dalil lain. (c). Apabila hukum tersebut bersifat umum dan bisa dikompromikan/diselesaikan melalui takhsis atau penghususan, seperti kasus ‘iddah bagi wanita hamil atau kasus kesaksian yang terdapat dalam hadits di atas, maka hukum tersebut harus dikompromikan melalui takhsis. Surat al-Baqarah ayat 234 bersifat umum dan surat al-Talaq ayat 4 bersifat khusus, maka surat al-Baqarah hukumnya ditakhsis dengan surat al-talaq. Dengan demikian, hukum ‘iddah wanita hamil ditentukan berdasarkan kandungan surat al-Talaq ayat 4 tersebut.
2. Tarjih. Apabila pengkompromian kedua dalil tidak bisa dilakukan, maka seorang mujtahid boleh menguatkan salah satu dalil berdasarkan dalil yang mendukungnya. Tata cara tarjih seperti yang dikemukakan para ahli ushul fiqh bisa ditempuh dengan beberapa cara, sekalipun ada cara-cara yang diperselisihkan. Umpamanya, dengan mentarjih dalil yang lebih banyak diriwayatkan orang dari dalil yang perawinya sedikit, melalui pentarjihan sanad (para penutur hadits), melalui pentarjihan dari sisi matan (teks hadits) atau berdasarkan indikasi lain di luar nash (teks). Tarjih berdasarkan indikasi lain di luar nash dapat dilihat pada contoh berikut: pertentangan antara hadits yang menyatakan bahwa Nabi tetap meneruskan puasa meskipun saat menjelang subuh beliau junub dengan hadits lain yang melarang orang yang junub untuk berpuasa. Dalam hal ini, yang diunggulkan adalah hadits yang membolehkan orang yang junub untuk berpuasa (hadits pertama), karena hadits ini didukung oleh ijma sahabat.
3. An-Nasakh. Apabila dengan cara tarjih pun dalil yang saling bertentangan tidak dapat diamalkan maka ditempuh cara yang ketiga, yaitu dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandung oleh kedua dalil tersebut, dengan syarat harus diketahui mana dalil yang pertama kali turun dan mana dalil yang turun kemudian (terakhir). Dalil yang turun kemudian inilah yang diambil dan diamalkan, seperti sabda Nabi: “Dahulu saya melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi sekarang ziarahilah”. (HR. Muslim). Dalam hadits ini mudah sekali dilacak mana hukum yang pertama dan mana yang terakhir. Hukum pertama adalah tidak boleh menziarahi kubur dan hukum yang terakhir adalah dibolehkannya menziarahi kubur karena ilat (alasan) larangan Nabi sudah tidak ada lagi.
4. Tasaqu al-Dalilain. Apabila cara ketiga (nasakh) juga tidak bisa ditempuh, maka seorang mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil yang bertentangan dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang bertentangan. Menurut ulama Madzhab Syafi’i, Maliki, Hambali dan al-Dhahiri, keempat cara ini harus ditempuh oleh mujtahid secara berurutan. 
III. PENUTUP 
Dari sekilas uraian di atas dapat kita simpulkan bahwasanya ta’arudl itu bersifat semu -sebatas pemahaman mujtahid- yang mana tingkat kecerdasan dan pengetahuannya itu berbeda-beda. Tidak adanya ta’arudl hakiki karena tidak mungkin Allah dan Nabi-Nya menurunkan syariat yang subtansinya saling bertentangan. 

TA’ARUDH AL-ADILLAH


Pengertian Ta’arudh Al-Adillah
Ta’arudh menurut arti bahasa adalah pertentangan satu dengan yang lainnya. Sementara kata Al-Adillah adalah bentuk Plural dari kata dalil, yang berarti Argumen, alasan dan dalil.                                                             .
Secara Istilah Ta’arudh al- Adillah diartikan sebagai perlawanan antara kandungan salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang lain. Sehingga dalam implikasinya kedua dalil yang berlawanan tersebut tidak mungkin dipakai pada satu waktu.[1] Perlawanan itu dapat terjadi antara Ayat Al-Qur’an dengan Al-Qur’an yang lain, Hadits Mutawatir dengan Hadits Mutawatir yang lain, Hadits Ahad dengan Hadits Ahad yang lain. Sebaliknya perlawanan tersebut tidak akan terjadi apabila kedua dalil tersebut berbeda kekuatannya, kaerna pada hakikaktnya dalil yang lebih kuatlah yang diamalkan.                             .
Diantara beberapa definisi Ta’arudh al- Adillah menurut beberapa ahli ushul fiqh diantaranya yang dikemukakan oleh         Amir Syarifudin mena’rifkan ta’arudh dengan berlawanannya dua dalil hukum yang salah satu diantara dua dalil itu meniadakan hukum yang ditunjuk oleh dalil lainnya[2] .
Abdul Wahab Khalaf mendifinisikan ta’arudh secara singkat, yaitu kontradiksi antara dua nash atau dalil yang sama kekuatannya. Dari beberapa definisi tersebut memberi titik penekanan yang berbeda, namun dapat disimpulkan bahwa ta’arud itu merupakan pembahasan dua dalil yang saling bertentangan.[3]
B. Bentuk-bentuk Dalil yang Kontradiktif
Pengertian dalil yang kontradiktif mencakup dalil yang naqli (dalil yang memang telah termaktub dalam Al-Qur’an atau hadist nabi secara tekstual) dan dalil aqli (dalil dimana rasionalitas menjadi penentunya) seperti qiyas, bahkan juga mencakup dalil yang qath’idan juga zhanni.
Para ulama berbeda pendapat mengenai bentuk dalil apa saja yang memungkinkan adanya kontra antara satu dengan yang lain. Perbedaan itu antara lain[4]:
  1. Menurut jumhur ulama mengatakan bahwa antara dua dalil yang qath’i tidak mungkin terjadi kontradiksi secara makna dhahir karena setiap dalil qath’imengharuskan adanya madlul (hukum). Bila dua dalil yang qath’i berbenturan berarti setiap dalil itu mengharuskan adanya hukum yang saling berbenturan. Dengan demikian maka akan terjadi dua hal yang saling meniadakan pihak lain, hal ini sangat mustahil terjadi. Sebagian ulama berpendapat memungkinkan adanya dua dalil yang qath’i yang saling meniadakan
  2. Segolongan ulama menolak terjadinya perbenturan antara dua dalil yang zhannisebagaimana tidak boleh terjadi perbenturan antara dua dalil yang qath’i,dengan tujuan untuk menghindarkan perbenturan dalam firman pembuat hukum syar’i. sedangkan sebagian ulama yang lain membolehkan terjadinya perbenturan dua dalil yang zhanni karena tidak ada halangan bagi perbenturan tersebut selama terbatas pada dalil yang tidak qath’i, seperti yang terjadi padaqiyas. Jika kontradiksi antara dua dalil yang bukan nash seperti dua qiyas yang saling bertentangan, maka ini mungkin saja kontradiksi yang hakiki atau sebenarnya. Karena kadang-kadang dari salah satu dari keduanya salah, maka jika mungkin memenangkan salah satu dari dua qiyas tersebut, yang menang itulah yang diamalkan.
Kedua golongan yang berbeda pendapat itu semuanya sepakat bahwa terjadinya kontradiksi dalil tersebut hanya dalam pemikiran para mujtahid saja, sedangkan dalam dalil itu sendiri tidak ada benturan. Dengan kesimpulan dari dua pendapat itu bahwa kontradiksi antara dua dalil ini tidak akan terjadi kecuali apabila kedua dalil itu sama kekuatannya. Maka jika salah satu dari kedua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, maka yang diikuti adalah hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lebih kuat. Dengan demikian tidak akan terjadi kontradiksi antara nash yang qath’i dan nash yang zhanni. Contohnya sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an QS. Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi sebagai berikut:
“Diwajibkan atas kamu apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) mati, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 180)
Ayat di atas secara dhahir maknanya mengalami kontradiksi dengan ayat sebagai berikut:
“Allah mensyari’tkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian orang laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa’: 11)
Ayat pertama mewajibkan kepada yang telah merasa mendekati ajalnya agar mewasiatkan harta pusakanya kepada orang tua dan sanak kerabatnya secara baik. Dan ayat kedua menetapkan masing-masing orang tua anak-anak dan sanak kerabat mendapat hak dari harta pusaka lantaran wasiat Allah bukan wasiat yang mewariskan. Berarti kedua ayat tersebut kontradiksi secara makna lahirnya dan mungkin bisa mengkompromikan keduanya, yaitu jika yang dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat 180 itu kedua orang tua dan sanak kerabat, maka itu merupakan ketentuan tentang mereka yang terhalang mendapat warisan oleh suatu penghalang seperti perbedaan agama[5]
2. Cara Penyelesaian Ta’arudh Al-Adillah[6]
Apabila ditemukan dua dalil yang kontradiksi secara lahirnya, maka harus diadakan pembahasan untuk memadukan keduanya dengan cara-cara memadukan yang telah diatur dalam ushul fiqh. Dan apabila dua dalil tersebut telah diusahakan perpaduannya, namun tetap tidak menemukan jalan keluar, maka pelaksaannya dihentikan dan mencari dalil yang lain. Para ulama ushul telah merumuskan tahapan-tahapan penyelesaian dalil-dalil yang kontradiksi yang bertolak pada suatu prinsip yang tertuang dalam kaidah sebagai berikut:
“Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu lebih baik daripada meninggalkan keduanya“
Dari kaidah di atas dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan serta cara-caranya sebagai berikut:
  1. Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi
  2. Mengamalkan satu diantara dua dalil yang kontradiksi
  3. Meninggalkan dua dalil yang kontradiksi[7]
Adapun pembahasan dari tahapan-tahapan di atas adalah sebagai berikut:
a. Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (Al-Jam’u wa al-Taufiq)dapat ditempuh dengan cara:
Taufiq (kompromi). Maksudnya adalah mempertemukan dan mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil tersebut, sehingga tidak terlihat lagi adanya kontradiksi.
Contoh:
“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah berwasiat bagi istri-istri mereka untuk bersenang –senang selama satu tahun.” (QS. Al-Baqarah: 240)
Dengan ayat yang berbunyi:
“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah istri-istri itu menahan diri selama empat bulan sepuluh hari.”
Kedua ayat di atas secara lahir memang berbenturan karena ayat yang pertama menetapkan iddah selama satu tahun, sedangkan ayat yang kedua menetapkan iddah selama empat bulan sepuluh hari.
Usaha kompromi dalam kasus ini adalah dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud bersenang-senang selama satu tahun pada ayat pertama adalah hak mantan istri untuk tinggal di rumah mantan suaminya selama satu tahun (jika tidak menikah lagi). Sedangkan masa iddah selama empat bulan sepuluh hari dalam ayat yang kedua maksudnya adalah sebagai batas minimal untuk tidak menikah lagi selama masa itu.
Takhsis, yaitu jika dua dalil yang secara zhahir berbenturan dan tidak mungkin dilakukan usaha kompromi, namun satu diantara dalil tersebut bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, maka dalil yang khusus itulah yang diamalkan untuk mengatur hal yang khusus. Sedangkan dalil yang umum diamalkan menurut keumumannya sesudah dikurangi dengan ketentuan yang khusus.
Contoh firman Allah QS. Al-Baqarah:228 yang berbunyi:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menungu) tagi kali sesuci.” (QS. Al-Baqarah:22)
Dan pada ayat lain sebagai berikut:
“Perempuan-perempuan hamil (yang dicerai suami) waktu iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungannya.”
Perbenturan secara zhahir kedua ayat di atas bahwa iddah istri yang ditalak suami adalah tiga kali sesuci, sedangkan istri yang dicerai suami dalam keadaan mengandung, maka iddahnya adalah sampai melahirkan anaknya.
Usaha penyelesaian malalui takhsis dalam dua dalil di atas yaitu memberlakukan batas melahirkan anak, khusus bagi istri yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil. Dengan usaha takhsis ini ketentuan bagi istri yang hamil dikeluarkan dari keumumannya.
b. Mengamalkan satu dalil diantara dua dalil yang berbenturan
Bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat dikompromikan atau ditakhsis, maka kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan keduanya. Dengan demikian hanya satu dalil yang dapat diamalkan. Usaha penyelesaian dalam bentuk ini dapat ditempuh dengan 3 cara:
Nasakh[8]. Maksudnya apabila dapat diketahui secara pasti bahwa satu diantara dua dalil yang kontradiksi itu lebih dahulu turun atau lebih dahulu berlakunya, sedangkan dalil yang satu lagi belakangan turunnya, maka dalil yang datang belakangan itu dinyatakan berlaku untuk seterusnya, sedangkan dalil yang lebih dulu dengan sendirinya dinyatakan tidak berlaku lagi.
Contoh:
“Sesungguhnya saya telah melarangmu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah.”
Keterangan waktu yang menjelaskan berlakunya dua nash yang berbeda adalah apabila dua dalil hukum berbenturan dan tidak mungkin diselesaikan dengan cara apapun, tetapi dapat diketahui bahwa yang satu lebih dahulu datangnya dari pada yang satunya, maka yang terakhir ini menasakh yang lebih dahulu datang, sebagaimana yang terjadi pada hadist di atas, dan juga hadits di bawah ini yang berbunyi:
“Sesungguhnya saya telah melarangmu menyimpan daging kurban lebih dari keperluan tiga hari, maka sekarang makanlah dan simpanlah.”
Tarjih. Maksudnya adalah apabila diantara dua dalil yang diduga berbenturan tidak diketahui mana yang belakangan turun atau berlakunya, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan nasakh, namun ditemukan banyak petunjuk yang menyatakan bahwa salah satu diantaranya lebih kuat dari pada yang lain, maka diamalkanlah dalil yang disertai petunjuk yang menguatkan itu, dan dalil yang lain ditinggalkan.
Contoh: Seperti mendahulukan khabar dari Aisyah ra. tentang wajibnya mandi bila terjadi persetubuhan dari pada khabar Abu Hurairah yang mewajibkan mandi hanya apabila keluar mani.
Takhyir. Maksudnya bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat ditempuh secaranasakh dan tarjih, namun kedua dalil itu masih mungkin untuk diamalkan, maka penyelesaiannya ditempuh dengan cara memilih salah satu diantara dua dalil itu untuk diamalkan, sedangkan yang lain tidak diamalkan.
c. Meninggalkan dua dalil yang berbenturan
Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berbenturan itu tidak mampu diselesaikan dengan dua cara di atas, maka ditempuh dengan cara ketiga, yaitu dengan meninggalkan dua dalil tersebut. Adapun cara meninggalkan kedua dalil yang berbenturan itu ada dua bentuk, yaitu:
Tawaquf (menangguhkan), menangguhkan pengamalan dalil tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu diantara keduanya.
Tasaquth (saling berguguran), meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil yang lain untuk diamalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, 2001, Beirut: Dra al-Fikr, Cet.ke-2
Firdaus. Ushul Fiqh (metode mengkaji dan memahami hukum islam secara komprehensif. 2004, Jakarta: Zikrul Hakim,
Khalaf, Abdul Wahab, 1997, Ilmu ushulul Fiqh, Terj. Prof. Drs. KH. Masdar Helmy, Bandung: Gema Risalah Press
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh  Jilid 1,1997,  Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Yahya, Mukhtar.,dan Fatchurrahman, 1993, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami.Bandung :Al-Ma’rif

[1] Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya dan Drs. Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam. (Bandung :Al-Ma’rif,1993), h. 417
[2] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 204
[3] Ibid., h. 2005
[4] Ibid,. h.205
[6] Penyelesaian Ta’arudh Al-Adillah secara garis besar terbagai menjadi 2 metode yang digunakan oleh mujtahid yaitu Metode Hanafiyah dan Metode Syafi’iyah. Hanafiyah Membagi Usaha-usaha Penyelesaian Ta’arudh al-Adillah menjadi 4 tahap yaitu Naskh, Tarjih, Jam’u wa Taufiq, dan Tasaqut al-Dalalain (Lihat Firdaus. Ushul Fiqh (Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif.(Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h. 193-198.) sedangkan Metode Syafi’iyah digunakan oleh ulama Syafi’iyah, yang juga digunakan oleh ulama Malikiyah, Hanabilah dan zahariyah. Terbagi menjadi 4 tahap yaitu: Al-Jam’u wa Taufiq, Tarjih, Naskh, dan Tasaqut al-Dalalain (Lihat Firdaus. Ushul Fiqh (Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif.(Jakarta: Zikrul Hakim, 2004) h. 198-201). Dalam Pembahasan ini Penyelesaian Ta’arudh al-Adillah lebih mengarah kepada pemahaman ulama Syafi’iyah yaitu Metode Syafi’iyah.
[7] Amir Syarifudin, Op Cit. h. 208
[8] Secara Bahasa Naskh mengandung dua pengertian yaitu penghapusan atau peniadaan, dan pemindahan dari suatu keadaan kepada keadaan lain. Para ushuliyun mena’rifkan istilah ini yaitu suatu Penjelasan tentang berakhirnya masa berlaku suatu hukum melalui dalil Syara’ yang datang kemudian. (lihat Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dra al-Fikr,2001), Cet.ke-2, h. 961-962.)