Minggu, 06 Maret 2011

Mengenal dan Memahami Kontradiksi Dalil Dalam Al-Quran dan As-sunnah


I. PENDAHULUAN
Dewasa ini kita sering melihat perbedaan yang terjadi di antara umat Islam. Perbedaan itu semua berdasarkan dalil baik al-Quran, hadits maupun dalil yang lain. Sebagai seorang pelajar perbedaan semacam itu merupakan suatu hal yang biasa. Karena kalau kita melihat rujukan-rujukan hukum yang diambil oleh para pakar hukum Islam, di situ kita melihat beberapa dalil yang secara tekstual saling bertentangan satu dengan yang lain.

Oleh karena itu, apabila kita mendengar tuduhan maupun anggapan orang bahwa dalam Islam terdapat inkonsistensi status sebuah perkara, yang nantinya akan menimbulkan negative thinking bahwa Tuhan maupun Nabi umat Islam tidak konsisten, maka kita sebagai kaum terpelajar tidak usah menanggapi dengan emosi, akan tetapi kita harus menyikapinya dengan wajar dan kepala dingin. Karena aggapan semacam itu dimungkinkan keluar dari mulut-mulut orang yang memang tidak paham bahkan tidak mengetahui seluk beluk hukum Islam. Oleh karena itu, untuk menghindari anggapan-anggapan miring seperti di atas para pakar hukum Islam terdahulu mengkaji dan meneliti dalil-dalil yang secara tekstual saling bertentangan, kemudian membuat langkah-langkah penyelesaian. Hasil dari pada kajian para pakar hukum di atas sekarang bisa kita peroleh dan kita pelajari dalam literatur hukum Islam yang termuat dalam bab khusus, yaitu sub kontradiksi beberapa dalil. 
Dalam pembahasan kali ini, berhubungan erat dengan apa yang terpapar di atas. Dan nantinya akan sedikit kita ketahui apa itu ta’arud, dan bagaimana cara menyelesaiakan ta’arud menurut beberapa pakar hukum Islam. Bagi para pelajar yang berminat untuk mengetahui Islamic laws (meskipun tidak mampu mencapai tingkatan mujtahid) fardlu ain bagi mereka untuk mempelajari sub ini. Karena banyak dalam teks-teks hukum menurut pandangan mujtahid terjadi pertentangan. Semisal satu dalil menunjukkan ketetapan sesuatu (isbat) sedangkan dalil yang lain menunjukkan pencabutan status (nafyu). Mungkin timbul pertanyaan mengapa kita susah-susah mempelajari satu bidang tertentu yang sudah ditetapkan hasilnya dan tidak mungkin lagi bisa dirubah konsepnya? Pertanyaan itu bisa dijawab dengan mudah, kajian semacam itu berguna untuk menentukan status suatu kasus yang akan terjadi di masa-masa yang akan datang. 
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian
Secara etimologis ta’arudl ialah pertentangan antara dua hal . Sedangkan secara terminologis ada beberapa definisi yang dikemukakan ulama ushul fiqh tentang ta’arudl al-Adillah. Muhammad Ibn Ali asy-Syaukani mendefinisikannya dengan: “Suatu dalil menentukan hukum tertentu terhadap satu kasus, sedangkan dalil yang lain menentukan hukum yang berbeda”. Ini juga merupakan definisi yang dikemukakan oleh mayoritas pakar ushul . Ali Hasaballah, ahli fiqh kontemporer dari Mesir, mendefinisikannya dengan: “Terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung oleh dalil lainnya dan kedua dalil tersebut dalam satu derajat” . Pengertian “satu derajat” adalah dua dalil yang bertentangan itu sama-sama al-Quran, atau sama-sama hadits ahad .
Contoh dua ayat yang bertentangan adalah tentang masa ‘iddah wanita sebab suaminya meninggal. Misalnya, firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 234 menyatakan bahwa ‘iddah wanita sebab suaminya meninggal adalah 4 bulan 10 hari. Ayat ini tidak membedakan apakah wanita itu hamil atau tidak. Sedangkan dalam surat al-Talaq ayat 4 , Allah menyatakan bahwa ‘iddah wanita yang hamil adalah sampai ia melahirkan anaknya. Dengan demikian, terdapat pertentangan kandungan antara kedua ayat tersebut bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, yakni apakah ‘iddahnya berakhir hingga ia melahirkan anaknya atau 4 bulan 10 hari.
Contoh hadits yang bertentangan adalah dalam masalah riba. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda yang artinya: “Tidak ada riba kecuali riba nasiah (riba yang muncul dari utang piutang)”. (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini meniadakan segala bentuk riba kecuali riba nasiah. Dengan demikian, riba al-Fadl (riba yang muncul akibat suatu transaksi, baik jual beli atau transaksi lainnya) tidaklah haram. Namun dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda yang artinya: “Janganlah kamu menjual gandum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang sama……”. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad Ibn Hambal). Hadits ini mengandung hukum bahwa riba al-Fadl diharamkan. Dengan demikian, dalam masalah riba al-Fadl ini ada pertentangan hukum yang dikandung oleh kedua dalil tersebut. Hadits pertama membolehkan dan hadits yang kedua mengharamkan.
Menurut Wahbah az-Zuhaili (seorang pakar fiqh dan ushulnya di Universitas Damaskus, Syiria), pertentangan antara kedua dalil itu hanya dalam pandangan mujtahid, sesuai dengan kemampuan pemahaman, analisis, dan kekuatan logikanya, bukan pertentangan hakiki, karena tudak mungkin Allah atau Rasul-Nya menurunkan aturan-aturan yang saling bertentangan.
Menurut Imam asy-Syatibi (seorang ahli fiqh Madzhab Maliki), pertentangan itu bersifat semu. Ia menambahkan bahwa pertentangan itu bisa terjadi dalam dalil yang qath’i (pasti benar) dan bisa juga dalam dalil yang dhanni (relatif benar), selama kedua dalil itu dalam satu derajat. Apabila pertentangan itu terjadi pada dalil yang berbeda derajat, seperti pertentangan antara dalil yang qath’i dan dalil yang dhanni, maka dalil yang diunggulkan adalah dalil yang qath’i. Apabila yang bertentangan itu ayat al-Quran dengan hadits ahad, maka dalil yang diunggulkan adalah ayat al-Quran, karena dari segi periwayatannya, ayat al-Quran bersifat qath’i, sedangkan hadits ahad bersifat dhanni. 
Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa pertentangan itu tidak mungkin muncul dari dalil yang bersifat fi’liyyah (perbuatan). Misalnya, dalil yang menunjukkan Rasulullah berpuasa pada hari tertentu, kemudian ada lagi dalil lain yang menyatakan bahwa pada hari itu beliau juga berbuka (tidak berpuasa) .

B. Cara menyelesaikan pertentangan dalil
Apabila menurut analisis seorang mujtahid ada dua dalil yang saling bertentangan, maka dapat digunakan metode tertentu untuk menyelesaikannya. Ulama Madzhab Hanafi mengemukakan empat metode penyelesaian:
1) An-Nasakh, yaitu membatalkan hukum berdasarkan pada dalil yang turun kemudian. Dalil yang turun kemudian ini mengandung hukum yang berbeda dengan hukum yang dikandung oleh dalil yang pertama. Dalam hal ini seorang mujtahid harus berusaha mencari kronologi munculnya kedua dalil tersebut. Apabila dalam pelacakannya, ia ternyata menemukan bahwa salah satu dari dua dalil itu muncul lebih dahulu, maka ia harus mengunggulkan dalil yang datang kemudian (terakhir). Dalam kasus pertentangan ayat yang berbicara tentang ‘iddah wanita hamil di atas, misalnya, menurut jumhur (mayoritas) ulama, Sahabat Abdullah Ibn Mas’ud meriwayatkan bahwa ayat yang menyebutkan ‘iddah wanita hamil adalah hingga ia melahirkan (surat al-Talaq, ayat 4) turun sesudah ayat yang menyatakan bahwa ‘iddah wanita sebab suaminya meninggal adalah 4 bulan 10 hari (surat al-Baqarah, ayat 234). Dengan demikian, surat al-Talaq ayat 4 ini menasakh (membatalkan) hukum yang dikandung oleh surat al-Baqarah ayat 234 yaitu ‘iddah wanita hamil adalah 4 bulan 10 hari .
2) Tarjih, yaitu menguatkan salah satu dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukungnya. Ini dapat dilakukan jika masa turunnya kedua dalil tersebut tidak diketahui. Namun dalam melakukan tarjih, seorang mujtahid harus mengemukakan argument yang membuat satu dalil lebih kuat dibandingkan dengan dalil lainnya. Tarjih dapat dilakukan dari sisi tunjukan kandungan lafadz suatu nash (teks), seperti menguatkan nash yang muhkam (hukumnya pasti dan tidak dapat dinasakh) dari mufassar (hukumnya pasti tetapi masih bisa dinasakh), dan dapat pula dilakukan dari segi hukum yang dikandungnya, seperti menguatkan dalil yang mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum halal. Apabila dua dalil yang saling bertentangan itu adalah hadits, maka tarjih dapat dilakukan melalui penilaian aspek keadilan orang yang meriwayatkan hadits. Contoh: pertentangan antara hadits yang mengharamkan minum air kencing dengan hadits yang menghalalkannya . Dalam hal ini, ulama Hanafiyah mengunggulkan hadits yang mengharamkan minum air kencing, meskipun hadits ini bisa diinterpretasikan kepada minum air kencing hewan yang tidak boleh dimakan, atau minum dengan tanpa tujuan berobat. Mereka menyatakan hal ini dengan argument bahwa menolak (tidak melakukan) bahaya (minum air kencing) lebih utama dari menarik kemanfaatan (tujuan mengobati) . 
3) Al-Jam’u wa al-Taufiq, yaitu menggabungkan dalil yang bertentangan dan kemudian mengkompromikannya. Metode ini dilakukan jika penyelesaian dengan cara tarjih tidak berhasil. Metode ini didasarkan atas kaidah fiqh “mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”. Misalnya, Rasulullah bersabda yang artinya: “Bukankah saya telah memberitahu kamu sebaik-baik kesaksian? Yaitu kesaksian yang diberikan oleh seseorang sebelum ia diminta menjadi saksi” . (HR. Muslim). Maksudnya, kesaksian yang baik itu adalah kesaksian seseorang yang diberikan tanpa diminta, baik itu kesaksian dalam hak-hak Allah maupun dalam kasus yang menyangkut hak manusia. Dalam hadits lain Rasulullah bersabda yang artinya: “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya pula, lalu setelah itu orang-orang yang memberikan kesaksiannya tanpa diminta, padahal mereka tidak menyaksikan peristiwa itu, dan mereka berkhianat serta tidak dapat dipercaya” . (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini mengandung pengertian bahwa pada suatu generasi nanti akan muncul orang-orang yang berusaha menjadi saksi, padahal mereka tidak menyaksikan peristiwa yang disidangkan itu sendiri. Dalam pertentangan ini, maka hadits yang pertama bisa diartikan dengan kasus-kasus yang terkait dengan hak Allah dan kesaksian dalam hadits yang kedua menyangkut hak-hak manusia . Contoh lain adalah dalam masalah darah yang haram dikonsumsi. Dalam surat al-Maidah ayat 3 Allah berfirman yang artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,…….”. Dalam ayat ini, tidak ada perbedaan antara darah yang mengalir dalam tubuh dan darah yang sudah beku seperti hati. Di dalam ayat lain Allah berfirman yang artinya: “….kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir…” . (QS. Al-An’am: 145). Ayat ini mengandung hukum bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir termasuk darah yang dibekukan di luar tubuh. Dengan demikian, darah yang diharamkan secara mutlak dalam surat al-Maidah ayat 3 dibatasi (ditakhsis) dengan darah yang mengalir yang terkandung dalam surat al-An’am ayat 145 . Dengan demikian, pengkompromian antara dalil-dalil yang secara lahiriyah bertentangan dapat diselesaikan.
4) Tasaqu al-Dalilain, yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan. Apabila ketiga cara di atas tidak bisa dilakukan oleh seorang mujtahid, maka ia boleh menggugurkan kedua dalil tersebut. Apabila dalil yang bertentangan dan tidak bisa dinasakh, atau ditarjih atau dikompromikan itu berupa dua ayat al-Quran, maka mujtahid boleh mencari dalil lain yang kualitasnya di bawah ayat al-Quran, yaitu sunnah. Apabila kedua hadits yang berbicara tentang masalah yang diselesaikannya itu juga bertentangan dan cara-cara di atas juga tidak bisa ditempuh, maka ia boleh mengambil pendapat sahabat (قول الصحابى) –bagi yang menjadikannya dalil syara’- atau menetapkan hukumnya melalui qiyas (analogi) bagi yang tidak menerima kehujahan pendapat sahabat . Contoh: pertentangan antara hadits yang menerangkan bahwa shalat kusuf (shalat gerhana matahari) dilakukan dengan satu rakaat dan dua sujud dengan hadits yang menyatakan bahwa shalat kusuf ini dilakukan dua rakaat dengan empat ruku’ dan empat sujud. Dalam menyikapi pertentangan ini, ulama Hanafiyah tidak menggunakan kedua hadits tersebut kerena menurut mereka kedua hadits ini tidak ada yang mengunggulkan salah satunya. Oleh karena itu, mereka beralih ke dalil yang derajatnya lebih rendah, yaitu qiyas (analogi). Mereka menganologikan shalat kusuf ini dengan shalat-shalat yang lain dalam hal jumlah rakaat . 
Menurut ulama Madzhab Hanafi, seorang mujtahid hanya dibolehkan memilih dalil yang kualitasnya rendah apabila ia telah melakukan upaya maksimal dalam melacak dalil yang kualitasnya lebih tinggi. Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan di atas harus dilakukan secara berurutan dari cara pertama sampai cara keempat.
Adapun cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan menurut ulama Madzhab Syafi’i, Maliki, Hambali, dan al-Dhahiri adalah sebagai berikut:
1. Al-Jam’u wa al-Taufiq. Keempat madzhab tersebut menyatakan bahwa metode pertama yang harus ditempuh adalah mengumpulkan dan mengkompromikan kedua dalil yang bertentangan, sekalipun hanya dari satu sisi saja. Alasan mereka adalah kaidah fiqh seperti yang dikemukakan Madzhab Hanafi di atas, yaitu “mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan salah satu di antaranya”. Mengamalkan kedua dalil, sekalipun hanya dari satu sisi saja, menurut mereka ada tiga cara: (a). Apabila kedua hukum yang saling bertentangan itu bisa dibagi, maka dilakukan pembagian sebaik-baiknya. Apabila dua orang saling mengklaim bahwa sebuah rumah adalah miliknya, maka kedua klaim itu jelas bertentangan, karena kepemilikan terhadap sesuatu sifatnya menyeluruh. Namun karena barang yang dipersengketakan adalah barang yang bisa dibagi, maka cara penyelesaiannya adalah dengan membagi rumah tersebut. (b). Apabila hukum yang bertentangan itu sesuatu yang mengandung banyak arti, maka mujtahid boleh mengambil salah satu pengertian asalkan didukung oleh dalil lain. Contohnya, Rasulullah bersabda yang artinya: “Tidak (dinamakan) shalat bagi orang yang rumahnya dekat masjid kecuali di masjid” . (HR. Abu Dawud dan Ahmad Ibn Hambal). Akan tetapi hadits ini bertentangan ketetapan dan pengakuan Nabi bahwa hukum shalat di selain masjid bagi orang yang rumahnya dekat masjid itu boleh. Dalam menyikapi pertentangan ini, seorang mujtahid harus memahami bahwa kata “la” secara ushul fiqh mempunyai pengertian yang banyak, yaitu bisa berarti “tidak sah”, “tidak sempurna”, atau “tidak utama”. Oleh sebab itu, ia boleh memilih pengertian mana saja asalkan didukung oleh dalil lain. (c). Apabila hukum tersebut bersifat umum dan bisa dikompromikan/diselesaikan melalui takhsis atau penghususan, seperti kasus ‘iddah bagi wanita hamil atau kasus kesaksian yang terdapat dalam hadits di atas, maka hukum tersebut harus dikompromikan melalui takhsis. Surat al-Baqarah ayat 234 bersifat umum dan surat al-Talaq ayat 4 bersifat khusus, maka surat al-Baqarah hukumnya ditakhsis dengan surat al-talaq. Dengan demikian, hukum ‘iddah wanita hamil ditentukan berdasarkan kandungan surat al-Talaq ayat 4 tersebut.
2. Tarjih. Apabila pengkompromian kedua dalil tidak bisa dilakukan, maka seorang mujtahid boleh menguatkan salah satu dalil berdasarkan dalil yang mendukungnya. Tata cara tarjih seperti yang dikemukakan para ahli ushul fiqh bisa ditempuh dengan beberapa cara, sekalipun ada cara-cara yang diperselisihkan. Umpamanya, dengan mentarjih dalil yang lebih banyak diriwayatkan orang dari dalil yang perawinya sedikit, melalui pentarjihan sanad (para penutur hadits), melalui pentarjihan dari sisi matan (teks hadits) atau berdasarkan indikasi lain di luar nash (teks). Tarjih berdasarkan indikasi lain di luar nash dapat dilihat pada contoh berikut: pertentangan antara hadits yang menyatakan bahwa Nabi tetap meneruskan puasa meskipun saat menjelang subuh beliau junub dengan hadits lain yang melarang orang yang junub untuk berpuasa. Dalam hal ini, yang diunggulkan adalah hadits yang membolehkan orang yang junub untuk berpuasa (hadits pertama), karena hadits ini didukung oleh ijma sahabat.
3. An-Nasakh. Apabila dengan cara tarjih pun dalil yang saling bertentangan tidak dapat diamalkan maka ditempuh cara yang ketiga, yaitu dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandung oleh kedua dalil tersebut, dengan syarat harus diketahui mana dalil yang pertama kali turun dan mana dalil yang turun kemudian (terakhir). Dalil yang turun kemudian inilah yang diambil dan diamalkan, seperti sabda Nabi: “Dahulu saya melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi sekarang ziarahilah”. (HR. Muslim). Dalam hadits ini mudah sekali dilacak mana hukum yang pertama dan mana yang terakhir. Hukum pertama adalah tidak boleh menziarahi kubur dan hukum yang terakhir adalah dibolehkannya menziarahi kubur karena ilat (alasan) larangan Nabi sudah tidak ada lagi.
4. Tasaqu al-Dalilain. Apabila cara ketiga (nasakh) juga tidak bisa ditempuh, maka seorang mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil yang bertentangan dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang bertentangan. Menurut ulama Madzhab Syafi’i, Maliki, Hambali dan al-Dhahiri, keempat cara ini harus ditempuh oleh mujtahid secara berurutan. 
III. PENUTUP 
Dari sekilas uraian di atas dapat kita simpulkan bahwasanya ta’arudl itu bersifat semu -sebatas pemahaman mujtahid- yang mana tingkat kecerdasan dan pengetahuannya itu berbeda-beda. Tidak adanya ta’arudl hakiki karena tidak mungkin Allah dan Nabi-Nya menurunkan syariat yang subtansinya saling bertentangan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar